Seorang Dokter Mengungkapkan Saat Ini Banyak Anak Muda Tanpa Komorbid Dirawat Karena Covid-19

Jakarta Sejumlah kasus COVID-19 dengan gejala berat mendadak baru-baru ini dilaporkan datang dari pasien berusia muda. Ada apa di balik fenomena ini?

Dokter Spesialis Paru, Erlina Burhan, berpendapat kalau varian corona baru dicurigai mempengaruhi tingkat kefatalan pasien COVID-19. Musababnya sebelum ada varian baru, hampir semua pasien itu lansia atau memiliki komorbid.

"Dari pengalaman, kalau nonvarian itu gejalanya khas, kita tahu biasanya pasiennya tua atau komorbid. Nah sekarang dengan ditemukannya varian baru, banyak di RS itu pasien masih muda-muda dan tidak ada komorbid, sehat. Nah, ini sepertinya terjadi shifting usia karena varian baru," kata Erlina dalam jumpa pers virtual, Jumat (18/6).

"Ya varian baru [Delta] 28 [kasus] ditemukan di Kudus. Di Jakarta sudah 20 varian baru Delta. Jadi kalau di Jakarta sudah ditemukan maka sekitarnya juga terpapar," imbuh dia.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PDPI dr. Agus Susanto mengungkap sudah banyak varian B. 1617.2 asal India (Delta) yang ditemukan di daerah-daerah. Bahkan, dari seluruh sampel yang di tes Whole Genome Sequencing (WGS) untuk memetakan varian baru di Kudus, sebanyak 70 persennya adalah varian Delta.

"Varian baru memang sudah banyak di Indonesia, termasuk di Kudus. Kemarin saya juga ke sana langsung melihat relawan kami. Di sana memang ditemukan varian Delta yang cukup banyak. Dari sampel yang diperiksa WGS, sekitar 70 persen itu varian Delta," kata Agus.

Kenaikan Kasus Akibat Kombinasi


Kasus COVID-19 di Indonesia memang tengah melesat naik pasca libur Lebaran, imbas dari kegiatan mudik, belanja, wisata, hingga silaturahmi. Sementara mutasi corona Variant of Worry (VOC) yang diwaspadai WHO lebih cepat menular pun makin banyak ditemukan di RI.

Berkaitan dengan hal ini, Agus berpendapat sulit untuk menentukan faktor mana yang lebih berpengaruh meningkatkan kasus corona di Indonesia. Menurutnya, studi lebih lanjut masih harus dilakukan dengan memperbanyak WGS.

"Apakah kecenderungan peningkatan kasus saat ini karena varian Delta? Tentu perlu evaluasi menyeluruh kota yang terjadi peningkatan zona merah. Kemenkes harus lakukan WGS sehingga kita bisa memberikan kesimpulan," terang dia.

"Tapi, secara garis besar peningkatan yang terjadi itu memang mungkin kombinasi dari longgarnya kegiatan di masyarakat, kurangnya prokes yang mulai diabaikan, mungkin euforia sudah vaksin, atau terlalu capek sehingga sekeluarga abai prokes, dan tentu varian baru," tambah dia.

Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Aman B Pulungan menyayangkan kalau WGS di Indonesia belum masif. Padahal, perlu WGS untuk menemukan varian baru.

"Masalahnya varian ini harus dari data klinis, WGS, sementara lab kita mungkin tidak sampai 10 di provinsi-provinsi. Jadi kita kayak berjalan dalam gelap untuk mendeteksi masalah apa. Jadi kita mau perang musuhnya enggak tampak," kata dia.

"Jadi hampir semua negara sudah VOC. Pasti lah kita juga sudah ada di daerah, orang di mana-mana jalan begitu. Masalahnya tidak setiap kasus itu dideteksi, secara sampling, setiap RS melakukan WGS secara berkala. Harusnya pemerintah atau Dinkes ada dan tata kelolanya, dan harus transparan. THAT minta gitu kok, jadi sehari di sini, berapa. Semua harus ada jadi kita tahu," imbuhnya.

Pemerintah Harus Lebih Transparan, Perluas Testing


Menurut Aman, pemerintah kini harus lebih transparan terhadap penemuan baru supaya masyarakat bisa lebih waspada. Kalau bisa diumumkan tiap minggu.

"Saya baru dapat WA dari teman saya yang tangani COVID di Malaysia. Ini mereka sekarang ada VOC, jadi lewat WGS, karena mereka sudah mulai campur tangan soal varian," jelas Aman
"Sebetulnya dari THAT, saya ikut sidangnya, setiap negara itu harus transparan, setiap minggu ada varian baru ini harus dipublish. Nah, harusnya di kita WGS itu tiap minggu dipaparkan. Jadi orang tahu, di Jakarta, Kudus, sudah ada," tambah dia.

Erlina pun setuju kalah pemerintah lebih transparan soal data-data COVID-19 termasuk varian baru. Sebab saat ini Indonesia sedang dalam kondisi mengkhawatirkan.

"Jadi selain transparansi, pemerintah ke rakyat juga harus ada komunikasi efektif. Sekarang kita kan tidak konsisten dan selaras, berbeda dengan negara lain mereka saling mendukung. Saya kira betul sekali kondisi Indonesia secara umum sekarang tidak baik-baik saja," ucap Erlina.

"Kita dalam kondisi mengkhawatirkan. Pemda, gubernur, wali kota, jadi pemerintah harus transparan mulai dari information peningkatan kasus, peningkatan kematian, atau sequencing yang baru," lanjut dia.

Adapun screening harus diperluas lagi. Sehingga baik kasus COVID-19 maupun varian mutasinya bisa lebih cepat ditangani.

"Jangan sampai terjebak dengan istilah zona tidak melakukan testing yang cukup, jadi seolah-olah daerahnya tidak ada kasus. Ini yang enggak boleh, seharusnya mapping testing masif, apalagi kondisi Indonesia saat ini. Saya bahkan berasumsi barangkali angkanya lebih dari yang didata atau yang diperiksa," tutur Erlina.

"Gubernur di DKI juga pernah mengatakan jumlah pemakaman meningkat. Jauh lebih tinggi dari RS. Jangan-jangan kasus-kasus ini kasus COVID yang tidak terdiagnosis. Jadi itu tadi, 3T ditingkatkan. Karena kita akan menemukan kasus lebih dini sehingga tindak lanjut akan lebih baik," pungkasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Militer Rusia Sedang Merakit Kapal Militer Jenis Siluman yang Sulit Terdeteksi

Mengapa Warna Bintang Bisa Berbeda-beda? Berikut Penjelasannya

Penjelajah Mars Milik NASA Mengumpulkan Sampel Bebatuan Bewarna Hijau Dengan Sarat Mineral